Tuesday, July 29, 2008

KONSPIRASI IMPERIALISME DAN KAPITALISME GLOBAL
Delivered on a general discussion on "Political Role of Ulema and Military of the Developing Countries" held by IKPM in association with KBRI Islamabad Pakistan 25th July 2008

MUKADDIMAH

Catatan ini akan sedikit mengulas sebuah fenomena relasi kaum agamawan dan militer di Negara-negara yang dikategorikan sebagai Negara ketiga atau Negara berkembang. Pokok pembicaraan yang ingin diketengahkan disini, berargumen bahwa permasalahan multi dimensi yang sedang dialami oleh Negara-negara tersebut merupakan dampak negatif yang ditimbulkan oleh arus globalisasi yang ternyata hanyalah sebuah refleksi dari semacam model atau sistem kolonialisme masa kini. Pernyataan ini membantah asumsi bahwa, ketertinggalan Negara-negara dunia ketiga dalam bidang keilmuan, teknologi serta stabilitas sistem perpolitikan maupun perekonomian yang kuat, sebagaimana telah dicapai oleh Barat, merupakan konsekwensi logis dari stagnasi perpolitikan dalam negeri dan instabilitas yang tiada henti. Ulasan ini menyanggah anggapan sebagian orang, bahwa perpolitikan dan urusan kenegaraan bukanlah domain kaum agamawan, namun sebaliknya memberikan penekanaan bahwa agama dan manusia merupakan bagian dari organ terpenting dalam pembentukan masyarakat yang adil dan berketuhanan.

DOMINASI AMERIKA

Dari sekian banyak perspektif manusia dunia ketiga ketika mencoba memahami ketertinggalan bangsanya, muncul sebuah asumsi yang memparalelkan tatanan dunia saat ini dengan dominasi dan supremasi Negara adidaya Amerika, utamanya bila kita merujuk kepada masa kulminasi imperialisme atau kolonialisme-nya terhadap dunia yaitu ketika terjadi perang dunia pertama, kedua dan perang dingin. Sikap dominan Amerika beserta sekutunya, telah membentuk sebuah tatanan masyarakat dunia yang harus tunduk pada diktasi dan perintahnya, terlebih ketika AS harus berhadapan dengan bermacam isu-isu dunia yang mengancam kepentingan dan eksistensinya. Bermacam strategi telah diupayakan untuk mengeliminasi berbagai kemungkinan munculnya kekuatan baru atau lama yang mampu mengirimkan sinyal perlawanan terhadap dominasi tersebut. Upaya tersebut kebanyakan bisa dibilang tidak konstitutional, bila kita menunjuk pada keterlibatan Amerika untuk menggoyang kekuasaan sipil di Sudan, Iran, Myanmar, Mesir dan lain-lain.

Amerika menganggap dirinya sebagai satu-satunya Negara adidaya yang memiliki peran sentral pembuka jalan bagi Negara-negara lainnya menuju pencapaian suatu pemerintahan politik yang demokratis. Upaya membumikan unsur-unsur demokrasi dianggap menjadi latar belakang sikap arogansi yang demikian, terlebih ketika diimbuhi dengan banner-banner lainnya seperti globalisasi, kebebasan dan HAM, sehingga dianggap telah memberikan legitimasi yang cukup bagi Amerika untuk terus berekspansi. Propanganda kotor, sangsi ekonomi, kebijakan luar negeri model stick and carrot, proxy war, akulturasi budaya dan pemikiran dan bahkan penggunaan hard politic sering kali diaplikasikan guna memberangus kekuatan-kekuatan penghalang.

KEBENCIAN TERHADAP AS

Terdapat wacana yang layak untuk dicermati, bahwa perubahan atau kejadian-kejadian terkait kemanusian global dalam beberapa dekade terakhir ini, semisal serangan terrorisme 11 September, Peledakan Bom di Inggris, Aktivitas program pengembangan Nuklir di Iran dan Korea Utara dan lain-lain, merupakan sinyal timbulnya poros-poros kekuatan pembangkang yang mengancam kepentingan AS kedepan. Nampaknya ada keterkaitan antara penyebab timbulnya aktivitas-aktivitas pengancam ini dengan program pendemokrasian dunia yang dicanangkan AS. Masyarakat dunia ketiga kecewa dan muak dengan segala bentuk indoktrinasi dan upaya implementasi Negara demokratis sebagaimana selalu digembar-gemborkan oleh AS. Kekecewaan ini cukup beralasan bila kita melihat pada kenyataan dilapangan. Dalam beberapa kasus, AS menganggap dirinya sebagai presedent utama dan personifikasi Negara paling demokratis, namun dalam kesempatan lain, justru AS sendirilah yang paling banyak melakukan pelanggaran terhadap etika demokrasi. Standar ganda inilah yang kemudian melatar belakangi kebencian dan sakit hati masyarakat dunia ketiga.

REZIM MILITER

Diantara skenario besar yang dilakukan oleh pemerintah AS paska runtuhnya kekuatan kolonialisme klasik, adalah mengamankan kepentingan-kepentingan luar negeri dan juga supremasi kekuatannya. Untuk itu perlu diupayakan sebuah konspirasi global tentang kolonialisme model baru. Yaitu sebuah sistem imperialisme modern yang mengatur hubungan antar Negara dalam suatu bentuk relasi dependensi yang memihak kepada keuntungan AS secara persisten. Implikasinya, Negara-negara lain harus dikondisikan subordinasi terhadap AS, sehingga akan selalu bergantung pada bantuan dan intervensi Negara adidaya tersebut. Pengkondisian tersebut termanifestasi dalam, terlepas dari legitimate atau tidak, pendudukan wilayah oleh sebuah kelompok atau entitas yang didukung AS. Atau juga menggulingkan kekuasaan melalui kudeta militer dan kemudian mendukung pola pemerintahan otoriterianisme militer. Sistem pemerintahan militer yang otoriter, kondisi ekonomi dan perpolitikan yang tidak menentu, sistem birokrasi yang korup dan feudal serta ketergantungan pada patronasi Negara lain meniscayakan kegagalan aktivitas-aktivitas atau ancaman-ancaman dari Negara dunia ketiga melawan dominasi AS. Kegagalan tersebut berasal dari bermacam faktor yang bervariasi mulai dari keterbatasan finansial/ pendanaan, Sumber Daya Manusia (teknologi), kemampuan lobby dan konsolidasi yang minim karena jumlah relasi yang sangat terbatas dan bahkan tidak ada, Political will yang tidak populer dan munculnya opsi-opsi lain yang mengharuskan prioritas kebijakan yang sangat mendesak.

RELASI ULAMA-MILITER

Munculnya kepemimpinan militer dalam percaturan perpolitikan sebuah Negara, biasanya lewat kudeta, memiliki kecenderungan untuk mengadopsi sikap pemerintahan yang represif dan otoriter. Hal ini bermuara pada satu kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan dan kekuatan rezim militer. Rezim militer berusaha mengaplikasikan sistem militerisme internal yang tegas dan terorganisir kedalam kehidupan bernegara. Disini tugas dan tanggung jawab rezim militer tidak hanya berkutat pada masalah-masalah pengamanan Negara dari kemungkinan timbulnya konflik dalam negeri atau upaya-upaya subversif lainnya, namun juga terkait dengan kewajiban untuk mendapatkan dukungan dan legitimasi rakyat. Kondisi perpolitikan internal yang tenang dan dukungan massa yang kuat merupakan pondasi utama bagi kelanggengan kekuasaan militer.

Sementara itu, kaum agamawan di dunia ketiga merupakan organ transformasi sosial yang memiliki peran signifikan terhadap peri kehidupan masyarakat. Kaum agamawan tersebut melebur (manunggal) dalam kehidupan masyarakat dan mendapatkan kehormatan yang sangat tinggi. Nampaknya para penguasa militer dunia ketiga menyadari peran sosial tersebut dan kemudian berusaha merangkul dan mendapatkan support mereka. Setidaknya para penguasa militer menginginkan sebuah mediator, disamping sebagai penyedia legitimasi/ keabsyahan atas kepemimpinannya, antara hirarki kekuasaannya dengan masyarakat luas. Contoh konkrit dari keterpihakan kaum agamawan terhadap pemerintahan militer adalah pernyataan/ fatwa ulama Mesir untuk menjustifikasi kekuasaan militer Gamal Abdul Naseer pada tahun 1960an dan Anwar Sadat beberapa tahun berikutnya. Terlepas dari motif yang mendasari pembenaran kekuasaan otoriter ini, nampaknya peran sosial ulama sangat tergantung pada kekuatan otoritas militer yang berkuasa. Sehingga dalam beberapa kasus tertentu, banyak kaum agamawan harus bersepakat dengan para penguasa militer tersebut. Dampak yang ditimbulkan adalah hilangnya kredibilitas sosial dan stigma yang mendiskreditkan kaum agamawan sebagai pendukung "kemungkaran".

KESIMPULAN

Menurut saya demokrasi bukanlah hasil dari runtutan upaya yang tergesa-gesa atau dipaksakan. Banyak tahapan dan proses yang harus kita tempuh. Demokrasi adalah sebuah pencapaian yang berproses dan karenanya tidak ada justifikasi yang mendasar atas upaya pemaksaan untuk meletakkan unsur-unsur terpenting demokrasi dengan cara-cara yang represif, terlebih bila ditujukan untuk mengakomodir kepentingan individu penguasa belaka.

Terlepas dari itu, perlu disingkap dan terus diwacanakan konspirasi internasional dan imperialisme global AS sehingga membuka wawasan pemikiran masyarakat yang masih sangat sempit dan diharapkan mampu memberikan solusi pemecahan yang representatif sehingga menjadi alternatif perjuangan melawan dominasi/ imperialisme negatif Negara-negara maju. Ulama dan militer merupakan organ integral dalam pembentukan sebuah Negara yang maju dan demokratis. Kedua entitas ini memiliki peran masing-masing sehingga harus senantiasa bersinergi dalam sebuah framework pembangunan manusia seutuhnya dan ketahanan Negara yang mapan.


Referensi:

1. Aditya, Willy, Voices of Human Rights, Militer Dalam Suprastruktur Ideologi, 5 November 2007 - 15:16 WIB
2. Ananta, Pramoedya, Toer, Timor Timur Tragedi Sisa-Sisa Perang Dingin
3. apakabar@Radix.Net, INDONESIA, Sekularisme di Turki, Sinar Harapan, 26/10/2002.
4. Ardiansyah SH MA MH, Hipokrisi HAM Barat, Selasa 11 Desember 2007, Riau Pos.Com
5. Fuad, Ahmad, Fanani, Tokoh Indonesia.com OPINI: (03) Ulama dan Godaan Politik Kekuasaan
6. Gunaryadi, Angkatan Bersenjata dan Rakyat Hubungan Sipil-Militer July 2005.mht
7. Haryadi, Agus, Menggugat Tatanan Dunia, Beriman kepada Demokrasi, 21 September 2001
8. Hidayat, Luthfi, Politik Ulama, Hizbut Tahrir Indonesia
9. Kadarsolihin, In, S.S. Ulama dalam Konstalasi Politik Orde Baru(Studi tentang Majelis Ulama Indonesia/MUI)
10. Muchdhor, Mustofa, Krisis Kemanusiaan dan Etika Global\
11. Mahasin, Aswab, Keterkaitan dan Hubungan Umara dan Ulama Dalam Islam, Artikel Yayasan Paramadina
12. Nugroho, Anjar, Hegemoni Barat dan Respon Islam.
13. Nasih, Mohammad, Campur Tangan Militer dalam Politik, Harian Umum Sore Sinar Harapan 23 Juni 2004

POVERTY AS A GREATEST COMMON ENEMY

THE SOUTH ASIAN POVERTY ALLEVIATION


This was a merely short note when to deliver presentation in May 2008, so you may find some sentences are either incomplete or less-elaborated.

SA has been standing between two contrasted ways of hope for a better life and a cataclysmic massive death. The former is understood due to its richness of human and natural resource and diverse cultures, and the latter a probability of a nuclear warfare that may take place at any cost associated with the fact of its being the most impoverished region of the world.

SA's governments have taken a priority of a national security over its' citizen security. The region has perpetually spent a $14 billion a year for this pursuance. This bulwark of budget is simply judged as equal to providing a year's primary school for about 119 million, a two years' safe drinking water for 200 million and a two years' health facility and service for 114 million poor people.

Poverty and Economic Growth Profile of SA

Here we want to explore the economic structure and profile of SA. The SA economic growth has been impressive but this is not comparable to that of other region partly ASEAN. The SA's economic growth rate is lower that ASEAN. The region has the world's highest rate of poverty. It has a 43% population below poverty line while ASEAN 14%, 24% of Latin America and 39% in Sub-Saharan Africa. There are at least three significant factors of economic deprivation that has implications for the quality of human capital and growth policy:

1. Percentage of malnourished children is far greater than that of poor to the overall population. India 53 and 35, Pak 38 and 29.

2. Percentage of dropping out children before grade 5 is greatest. 41% compared to 31% of developing world.

3. Percentage of (health care, sanitation, safe water) basic services-deprived population is quit high. As far as water is concerned, India owes 37%, Pak 40%.

The fact that large population denied of basic necessities and the growing military and bureaucratic apparatus has shown the state's failure to focus on a fundamental feature of nation building


The SA's Economic Structure

Despite of the high economic growth in SA, the poverty reduction has been low. India (1970-1990) figured from 53% to 35%, by contrast Indonesia (1970-1980) only one decade from 58% to 17%. The structure of economic growth process constrains the ability to reduce poverty. Why?

Among major structural factors of SA's economies that constrains poverty alleviation, partly that of women are:

1. Unequal distribution of agricultural and industrial assets and income for overall groups and gender.

2. The structure of output is concentrated towards low-value added products, thus low Labor productivity and low income

3. The second is due to a low-skilled level labor.

Then what are the Gov's macroeconomic policies?

The SA has been coordinating its policy and initiatives of economic growth and poverty alleviation with a joint cooperation of an IMF’s structural adjustment program. Despite this sound attempt, the program found its irrelevance and failure to address the problem and consequently has an adverse impact on economic growth and poverty reduction in the region, proof:

1. Liberalization of import and withdrawal of subsidies from a domestically produced goods and services.

2. Exchange rate devaluation that stimulates inflation and dependence on imported goods.

3. Constriction of money supply that generate recession; the increased interest rate and shortage of credit for private investment. This is due to the state's failure to locate and classify its annual expenditure and budget, thus wastages.

Again it shows that the macroeconomic policies undertaken with the IMF’s auspices have slown down the GDP, accelerated inflation and accentuated the poverty and unemployment.


What to suggest

Adoption of a participatory development and a pro-poor economic growth through:

1. Building up a village institution ensuring the potentiality of people direct participation.

2. Restructuring the economic growth through a set of a macroeconomic policy providing employments to the poor, direct credit, technical training, and infrastructure.

In short this policy includes:

1. Process meaning to encourage poor people's consciousness and realization of their potential

2. Empowerment, restructuring their identity, upgrading their skill and knowledge base.

3. Participation, direct involvement of poor in identifying projects, formulating, implementing and evaluating it. No longer representatives.

In a broader level, this macroeconomic initiative substantiates the involvement of the government, private sectors and foreign investment to:

1. Accelerate GDP growth gradually from 3 to 5 to 7 and 10 by:
A. To reduce fiscal deficit by a sharp reduction of a non-productive
Governmental expenditure.
B. Tariff rationalization thus easing export by private sectors.
C. To enhance the three sectors' relation

2. A shift from a low value added export products to high requiring the improved skill level labors.

3. Institutional support, training and credit for small industries.